Dedy Tribun . Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 24 Juni 2014

Pilpres di Media Sosial Serasa Republik Indonesia SARA



Status saya di @twitter dan di facebook hanya beberapa orang saja yang suka. Malkum saya bukan orang terkenal, walau pertemanan hanya diatas 2.000 an di Facebook. Biar tidak banyak, namun saya berteman dengan segala profesi dan umur.

Isinya "Penilaian sye, mayoritas kader Partai Agamais serasa menabuh perang SARA di Pilpres. Mbok ya menentramkan. Jgn Paksa Argumen Pribadi dibaca org"

Menentramkan. Itulah harapan saya jelang 2 minggu lagi pilpres 9 Juli 2014. Menentramkan ini bukan saya suarakan ke  orang pe orang, melainkan sedikit komen pemikiran, dan lebih pada harapan yang ditujukkan kepada masyarakat di Republik media sosial. 

Kenapa pikiran saya seperti itu. Karena dengan hanya 2 pasangan Capres, perang komentar di media sosial tidak lagi pakai data dan logika pikiran, melainkan meng Cap beda pilihan Capresnya, maka itu adalah Lawan. 

Saya perhatikan beda pilihan sudah seperti perang, dan harus dikalahkan.Perang di media sosial entah di facebook, twiiter, blog pribadi, farum diskusi dan lainnya, terasa garang. Dan celakanya, jika ada yang terdesak ujung-ujungnya komentar mengandung SARA. 

Padahal, yang dishare atau di bagi ke twitter atau forum facebook  sebuah link berita on-line harian nasional dan daerah. Tentu kaedah dan tata penulisan memenuhi unsur jurnalistik. Kaedahnya, ada narasumber jelas, serta klarifikasi langsung ke nama orang yang diberitakan.

Walau Isi linknya mungkin berita  kritikan masing-masing tim capres, tapi tambahan beberapa kata dari share pribadi pemilik akun, lebih terlihat emosional menanggapinya.

‎Komen Kader Parpol

Penilaian saya, saat ini komentar-komentar tokoh-tokoh partai politik, baik partai nasional maupun islam, terlihat pakai data dan tetap menonjolkan ke kritisan.

Namun, akan bernada sedikit SARA ketika sampai ke Anda-anda yang berbeda pilihan Capres. Kadang saya tersenyum saja, ketika ada kader partai politik mengomentari suatu link dengan nada SARA. Setelah dilihat profilnya, teman medsos ini orang yang mengerti dalam soal agama. Dan paham fitnah dilarang Agama.

Sayapun berpikir, apa bedanya Kampanye Hitam dengan Fitnah. Jika ternyata Fitnah itukan dosa, kalau kita yang termakan isu lalu ikut menyebarkan, apa tidak ikut berdosa.

‎Celakanya, perang komentar berbau SARA terus dihembuskan oleh teman-teman facebook dan twitter yang merupakan kader parpol berbasis agama. 

Bahkan, ada link pendapat anonim di post di laman medsos sendiri. Dan sebagai temannya, saya ikut membuka link, dan membacanya. Walau hasil data kurang tepat, dan tanpa nara sumber. 

Intinya, komentar kritis dulu, mengenai kebenaran data nomor sekian.

Saya tau sang kader loyal ke partainya. Namun, demi membanggakan  capresnya itu unggulan, kok dalam status setiap waktu, menjelaskan capres sang lawan selalu buruk di matanya.

Ternyata, saya lihat di kader parpol agamais lainnya yang beda partai, hampir sama. Semua melontarkan pandangan negatif ke sosok capres yang bukan garis dukungan partainya.

Dan, kembali Saya lihat di status Medsos dari teman  parpol non agamais. Komentar ke sosok capres lawan selalu salah, dan  men share berita unsur negatif seorang capres. Walau menghasutnya dengak kreasi gambar-gambar mengkritik.

‎Mari Menentramkan 

Stop dulu, pandangan saya mengenai teman-teman medsos di Facebook dan Twitter dari Kader Partai Politik. Padangan saya, wajar mereka membela mati-matian Capresnya,  ‎karena hirarki Partai.

Kini saya mau lihat. Status Medsos teman-teman diluar partai politik. Hasilnya, status di Media Sosial masing-masing cukup memprihatinkan juga. 

Demi menyakini pilihan capresnya, ragam link berita baik itu komentar blog, portal pribadi, informasi sepihak,  di share di laman sendiri, lengkap dengan komentar yang kurang elok.

Padahal latar belakang mereka rata-rata pendidikan tinggi. Namun untuk mencoba mempengaruhi orang lain. Rela berkomentar mengandung SARA, tanpa peduli status pekerjaan dia saat ini.

Dalam pandangan saya yang tidak "secerdas" Anda, ada baiknya, berilah komentar itu sesuai dengan latar profesi saat ini.

Jika seorang akademisi, kometarlah yang kritis, tapi berilah argumen yang sesuai analisis akademis yang dimiliki. Jika seorang pengajar berilah kometar pribadi yang mendidik dan santun. 

Pasalnya, ketika seorang pendidik ikut-ikutan mengasut.. satu saat muridnya melihat kometar itu, akan bertentangan dengan pribadi di depan kelas. Tentu bikin bingung sang murid.

Bagaimana kometar teman yang berprofesi sebagai aparatur pemerintah dan birokrat hukum. Ada juga bernada memihak walau tidak terang-terangan. Ada juga bersikap kritis seakan mereka tidak peduli adalah akan menjadi anak buah sang Presiden baru.

Silahkan mengomentari sebuah link berita. Tapi, komentarlah dengan kritis lengkap dengan data dan kekritisan ilmu yang dimiliki.

Memang, bahasa dan komentar yang keras dan tajam, lebih menarik perhatian para pembaca. Tapi, kometar sifatnya menghasut dan tidak sesuai kecerdasan ilmu yang Anda dimiliki, bisa menjadi polemik dikemudian hari. Jadi baiknya dari sekarang dikurangi.

‎Harapan Saja

Komentar-komentar kritis dan kadang bernada negatif, sudah menjelaskan siapa pilihan Anda. Sekali atau dua kali menyatakan sikap dan memberikan kritik di medsosnya, dirasa cukup. Tapi, berulang kali dan kadang-kadang men share link fiktif dan  kadang menyenggol SARA, nanti suatu waktu akan menyerang balik ke diri sendiri nantinya.

Sebagai teman perkawanan di Facebook atau Twitter pribadi, kadang komentar menghasut dan bukan kritis, membuat saya Terpaksa ikut Membacanya. 

Memang tidak salah ya, tapi jika memang pilihan Anda kuat dengan sang Capres itu, orang atau teman di Mensos akan menghormati.

Kalau mau komentar, usulan saya bisa mengungkapkan keinginan dan harapan Anda jika Capres pilihan Anda terpilih, apa yang Anda butuhkan untuk 5 tahun kedepan. 

Komentar dan masukan ke Capres pilihan, siapa tau ditanggapi sang Capres. Itu mungkin lebih bijak dan menentram kan. OK itu saran secara umum. Diterima syukur.

Kedepan, negara ini akan banyak keragaman masuk ke Indonesia.  Kita akan hidup dengan banyak suku dan negara di beberapa tahun ke depan. ‎Bisa saja, 2-3 tahun ke depan, tetangga kita orang bule atau orang arab, thionghoa. 

Jika itu terjadi dan pola pikir kita masih berbau SARA, apakah Anda akan mengusir mereka. Jika iya.. maka negara Indonesia harus tidak setuju dengan Pasar Bebas Asia. ‎ Atau kalau bisa menerima juga , Anda harus membuat negara sendiri. (dedy suwadha/ 25 Juni 2014/ Piala Dunia Italia vs Uruguay)

0 komentar:

Posting Komentar

Selasa, 24 Juni 2014

Pilpres di Media Sosial Serasa Republik Indonesia SARA



Status saya di @twitter dan di facebook hanya beberapa orang saja yang suka. Malkum saya bukan orang terkenal, walau pertemanan hanya diatas 2.000 an di Facebook. Biar tidak banyak, namun saya berteman dengan segala profesi dan umur.

Isinya "Penilaian sye, mayoritas kader Partai Agamais serasa menabuh perang SARA di Pilpres. Mbok ya menentramkan. Jgn Paksa Argumen Pribadi dibaca org"

Menentramkan. Itulah harapan saya jelang 2 minggu lagi pilpres 9 Juli 2014. Menentramkan ini bukan saya suarakan ke  orang pe orang, melainkan sedikit komen pemikiran, dan lebih pada harapan yang ditujukkan kepada masyarakat di Republik media sosial. 

Kenapa pikiran saya seperti itu. Karena dengan hanya 2 pasangan Capres, perang komentar di media sosial tidak lagi pakai data dan logika pikiran, melainkan meng Cap beda pilihan Capresnya, maka itu adalah Lawan. 

Saya perhatikan beda pilihan sudah seperti perang, dan harus dikalahkan.Perang di media sosial entah di facebook, twiiter, blog pribadi, farum diskusi dan lainnya, terasa garang. Dan celakanya, jika ada yang terdesak ujung-ujungnya komentar mengandung SARA. 

Padahal, yang dishare atau di bagi ke twitter atau forum facebook  sebuah link berita on-line harian nasional dan daerah. Tentu kaedah dan tata penulisan memenuhi unsur jurnalistik. Kaedahnya, ada narasumber jelas, serta klarifikasi langsung ke nama orang yang diberitakan.

Walau Isi linknya mungkin berita  kritikan masing-masing tim capres, tapi tambahan beberapa kata dari share pribadi pemilik akun, lebih terlihat emosional menanggapinya.

‎Komen Kader Parpol

Penilaian saya, saat ini komentar-komentar tokoh-tokoh partai politik, baik partai nasional maupun islam, terlihat pakai data dan tetap menonjolkan ke kritisan.

Namun, akan bernada sedikit SARA ketika sampai ke Anda-anda yang berbeda pilihan Capres. Kadang saya tersenyum saja, ketika ada kader partai politik mengomentari suatu link dengan nada SARA. Setelah dilihat profilnya, teman medsos ini orang yang mengerti dalam soal agama. Dan paham fitnah dilarang Agama.

Sayapun berpikir, apa bedanya Kampanye Hitam dengan Fitnah. Jika ternyata Fitnah itukan dosa, kalau kita yang termakan isu lalu ikut menyebarkan, apa tidak ikut berdosa.

‎Celakanya, perang komentar berbau SARA terus dihembuskan oleh teman-teman facebook dan twitter yang merupakan kader parpol berbasis agama. 

Bahkan, ada link pendapat anonim di post di laman medsos sendiri. Dan sebagai temannya, saya ikut membuka link, dan membacanya. Walau hasil data kurang tepat, dan tanpa nara sumber. 

Intinya, komentar kritis dulu, mengenai kebenaran data nomor sekian.

Saya tau sang kader loyal ke partainya. Namun, demi membanggakan  capresnya itu unggulan, kok dalam status setiap waktu, menjelaskan capres sang lawan selalu buruk di matanya.

Ternyata, saya lihat di kader parpol agamais lainnya yang beda partai, hampir sama. Semua melontarkan pandangan negatif ke sosok capres yang bukan garis dukungan partainya.

Dan, kembali Saya lihat di status Medsos dari teman  parpol non agamais. Komentar ke sosok capres lawan selalu salah, dan  men share berita unsur negatif seorang capres. Walau menghasutnya dengak kreasi gambar-gambar mengkritik.

‎Mari Menentramkan 

Stop dulu, pandangan saya mengenai teman-teman medsos di Facebook dan Twitter dari Kader Partai Politik. Padangan saya, wajar mereka membela mati-matian Capresnya,  ‎karena hirarki Partai.

Kini saya mau lihat. Status Medsos teman-teman diluar partai politik. Hasilnya, status di Media Sosial masing-masing cukup memprihatinkan juga. 

Demi menyakini pilihan capresnya, ragam link berita baik itu komentar blog, portal pribadi, informasi sepihak,  di share di laman sendiri, lengkap dengan komentar yang kurang elok.

Padahal latar belakang mereka rata-rata pendidikan tinggi. Namun untuk mencoba mempengaruhi orang lain. Rela berkomentar mengandung SARA, tanpa peduli status pekerjaan dia saat ini.

Dalam pandangan saya yang tidak "secerdas" Anda, ada baiknya, berilah komentar itu sesuai dengan latar profesi saat ini.

Jika seorang akademisi, kometarlah yang kritis, tapi berilah argumen yang sesuai analisis akademis yang dimiliki. Jika seorang pengajar berilah kometar pribadi yang mendidik dan santun. 

Pasalnya, ketika seorang pendidik ikut-ikutan mengasut.. satu saat muridnya melihat kometar itu, akan bertentangan dengan pribadi di depan kelas. Tentu bikin bingung sang murid.

Bagaimana kometar teman yang berprofesi sebagai aparatur pemerintah dan birokrat hukum. Ada juga bernada memihak walau tidak terang-terangan. Ada juga bersikap kritis seakan mereka tidak peduli adalah akan menjadi anak buah sang Presiden baru.

Silahkan mengomentari sebuah link berita. Tapi, komentarlah dengan kritis lengkap dengan data dan kekritisan ilmu yang dimiliki.

Memang, bahasa dan komentar yang keras dan tajam, lebih menarik perhatian para pembaca. Tapi, kometar sifatnya menghasut dan tidak sesuai kecerdasan ilmu yang Anda dimiliki, bisa menjadi polemik dikemudian hari. Jadi baiknya dari sekarang dikurangi.

‎Harapan Saja

Komentar-komentar kritis dan kadang bernada negatif, sudah menjelaskan siapa pilihan Anda. Sekali atau dua kali menyatakan sikap dan memberikan kritik di medsosnya, dirasa cukup. Tapi, berulang kali dan kadang-kadang men share link fiktif dan  kadang menyenggol SARA, nanti suatu waktu akan menyerang balik ke diri sendiri nantinya.

Sebagai teman perkawanan di Facebook atau Twitter pribadi, kadang komentar menghasut dan bukan kritis, membuat saya Terpaksa ikut Membacanya. 

Memang tidak salah ya, tapi jika memang pilihan Anda kuat dengan sang Capres itu, orang atau teman di Mensos akan menghormati.

Kalau mau komentar, usulan saya bisa mengungkapkan keinginan dan harapan Anda jika Capres pilihan Anda terpilih, apa yang Anda butuhkan untuk 5 tahun kedepan. 

Komentar dan masukan ke Capres pilihan, siapa tau ditanggapi sang Capres. Itu mungkin lebih bijak dan menentram kan. OK itu saran secara umum. Diterima syukur.

Kedepan, negara ini akan banyak keragaman masuk ke Indonesia.  Kita akan hidup dengan banyak suku dan negara di beberapa tahun ke depan. ‎Bisa saja, 2-3 tahun ke depan, tetangga kita orang bule atau orang arab, thionghoa. 

Jika itu terjadi dan pola pikir kita masih berbau SARA, apakah Anda akan mengusir mereka. Jika iya.. maka negara Indonesia harus tidak setuju dengan Pasar Bebas Asia. ‎ Atau kalau bisa menerima juga , Anda harus membuat negara sendiri. (dedy suwadha/ 25 Juni 2014/ Piala Dunia Italia vs Uruguay)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About

Copyright © Modus News Design by BTDesigner | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger