Dedy Tribun . Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 26 Januari 2014

Serasa  Orde Reformasi "Feodalisme‎"



Judul tulisan ini mungkin ada dari Anda yang pernah membuatnya, kalau ada, saya jamin tidak copy paste. Namun, jika tidak ada, mungkin judul ini terpikirkan setelah melihat tokoh-tokoh politik nasional didominasi orang-orang tua  (kakek-nenek), yang menghias media di Indonesia.

Oke.. dari sisi pengalaman hidup dan pengabdian mereka jaya di zamannya. Namun, ini Era Reformasi Bung. Dimana, tahun 1997-1998 adalah mahasiswa usia 20 tahunan menggulingkan Orde Baru Soeharto (Anda pada tau lah ceritanya)..

Sukses terwujudnya Reformasi itu, mahasiswa kembali ke kampus dan berkutat dengan kuliah. Mereka seakan kembali ingat, kalau mereka dibiayai emak kuliah untuk jadi sarjana. 

Kekosongan sebentar inilah dimainkan pakar politik dan pengamat yang muncul dengan garang dan seolah-olah menjadi pahlawan, yang mewujudkan Reformasi. 

Saya masih ingat, komentar-komentar cerdas Andi Malarangeng atau Komentar Sri Mulyani yang hampir setiap hari menghias layar televisi. Pada awal reformasi. Mereka adalah kalangan akademisi‎ yang mulai memberi arahan seputar peran bagaimana cerita untuk memulai reformasi.

Tapi, daya saing para pengamat ini seakan terkalahkan dengan politik balas budi dan politik uang. Ya, wajar Partai Beringin yang memiliki jaringan dan mengakar di Indonesia, mulai menunjukan kekompakannya. Bentuk kekompakannya adalah ramai-ramai membuat partai pendamping.

Ketua Partai barunya, orang-orang partai beringin. Kalau tidak salah, 1999 itu ada lebih 30 partai, dan penyebaran pemimpinnya adalah orang-orang tua di Partai Beringin juga.

Pada awalnya, mahasiswa yang masuk kampus ini senang, golkar pecah. Namun, teriakan Golkar harus dihapuskan seperti Partai PKI, awalnya terdengar garang, kini menghilang. 

Saya masih ingat, Kantor Golkar di Kota tempat saya kuliah‎ di serang dan dilempar mahasiswa. Itu bentuk kesalnya pada peta perpolitikan di era Orde baru.

Ok, mari kita tinggalkan kondisi era Reformasi. Sekarang, tahun 2014. Tahun Kuda Politik menurut saya.

Setelah melalui banyak proses, Demokrasi makin terbuka, yang kaya dan pintar, serta mereka yang kritis masuk partai. Partai tingkat nasional ada 12 partai. Sisanya, partai lokal di Aceh.

Saya tidak melihat jumlah partainya, tapi yang saya lihat dan terpikirkan, kenapa semua Ketua Umum partai, kebanyakan wajah-wajah penguasa Orde Baru. Wajah-wajah yang dulunya mendapat fasilitas dan kemudahan di Orde Baru. Saya, binggung, kemana kawan-kawan mahasiswa yang mendobrak terlahirnya Reformasi. Kenapa tidak ada yang berkibar menjadi Ketua Partai.‎
 Ok, ada Ketum Partai PKB dan Partai PKS. Sisanya, saya lihat partai-partai yang dipimpin oleh yang udah kakek dan nenek. (maaf, fakta umur yang terlihat). Dua partai ini, lahir dan bertahan, dan sepertinya bebas dari unsur Orde Baru.‎

Ok, Partai seperti PDI Perjuangan, adalah partai yang lahir saat penindasan Orde Baru, dan di era reformasi‎ berkibar menjadi partai Oposisi. Memang pernah menjadi penguasa, tapi cuma 3 tahun, namun kembali terjungkal dengan kekuatan dan kepentingan asing.  Sayang, sosok Ibu kita ini dinilai terlalu lama memimpin partai. 21 tahun, seperti yang saya dengar di Mata Najwa.

Dengan umur yang sudah tua ini, sosok sang Ibu adalah pemersatu politikus yang kritis. ‎Semua menghargai keputusannya. Siapa saja politikus kritis ini, saya perhatikan mereka yang muda dan bergerak dalam demo menjatuhkan Soeharto.

Menjadi pertanyaan saya, jika takdir bicara dan sosok Naga Merah tidak ada (maaf), siapa yang akan mengantikannya. Jangan bilang aman di partai moncong putih ini. Ingat, politisi kritis berkumpul dan saya rasa tidak akan diam dan manut jika sang Ibu tidak kuat lagi.

Mungkin tidak saya saja yang tertarik ingin melihat cara yang diambil, ketika situasi itu terjadi. ( semoga saja Gerobak yang ditarik kerbau tidak retak apalagi hancur). Namun, saya menilai, dengan satu orang saja menjadi penguasa partai hingga 21 tahun, saya mencap, ini bukan lagi reformasi, tetapi Reformasi Feodalisme. 

Mungkin secara istilah, salah. Tapi, itulah kondisi yang saya tangkap dan simpulkan.‎ Kondisi Reformasi Feodalisme juga saya lihat pada partai-partai lainnya. 
Yang menarik saat ini, ada jargon Restorasi. Teriakan restorasi menggema oleh partai baru. Sayang, jargonnya tidak menggoda kalangan mahasiswa. Dan, kondisi terakhir, partai ini layu sebelum beraksi. Awalnya, politisi muda tertarik, tapi dengan diambil alihnya pimpinan partai oleh Mantan Ketua Pembina Partai Beringin, dan sosok pengebraknya jadi sekretaris, maka terlihat lagi Reformasi Feodalismenya.

Benar, Surya Paloh pencetus dan pemodal partai, tapi saya lihat dia ingin jadi Ketum, seakan partainya akan mengarah menjadi partai keluarga juga. Semoga analisa saya salah. 
Partai Burung digadang-gadang ketuanya akan diminati rakyat. Mantan Jendral Bintang 3 ini juga penikmat kekuasaan bersenjata pada Era Orde Baru. Maklum mantu presiden.  Kuatkah partai ini, dari pandangan saya, sang ketua saja yang menonjol. Kehadiran Partai ini membuat nyaman tokoh-tokoh Orde Baru yang selama Reformasi menghilang. Dan prediksi saya, akan kembali muncul, Jika sang Ketum Jadi Presiden.

Bagaimana dengan Partai lain. Ada Partai Hati Nurani. Sosok Wiranto yang juga dulu Jendralnya Partai Beringin, sejauh ini masih belum teruji kemampuannya.  
Memang, peran Wiranto saat aksi reformasi diam dan tidak menggerakkan anggotanya, namun penilaian asing dan media asing, menjatuhkannya. Dan kesalahan Wiranto adalah menggunakan Partai Beringin untuk maju Capres. Padahal, citra Partai waktu itu kurang dimata masyarakat.‎

Sekarang, Wiranto kembali maju dengan pasangannya, tapi prediksi saya akan layu sebelum berkembang. Ditambah kampanye pasangannya kurang merakyat, ditambah sosok sebagai militer tegas, kurang mampu memanfaatkan isu, tidak ada pernyataan heroik dari Wiranto menyikapi masalah keamanan nasional atau internasional. Entah, apakah ingin mencari aman saja, karena takut komentarnya bisa  diserang secara politik. 
 Tapi, lebih baik bersuara, dan menunjukan keberanian dengan kecerdasan.‎ Dan, dengan kondisi ini, partai hati nurani ini yang saya nilai tidak terasa angin Reformasinya. ‎

Bagaimana dengan partai berlambang Mercy. Saya tak ingin berpanjang menilainya saat ini. Karena, dari struktur Ketua Umum, lebih seksi dari pada jabatan Presiden. Awalnya, Partai ini diisi kalangan reformis dan idealis, tapi karena bercampur tokoh-tokoh mantan punggawa Partai Beringin, semua menjadi kacau. Reformasipun terlaksana, tapi dalam jaringan keluarga. 

Bagaimana dengan partai-partai islam, sepertinya secara garis, kayaknya lebih melaksanakan reformasi. Ketua adalah kader-kader yang terstruktur dan berjenjang. Dinamika untuk jadi pemimpin berjalan dan tidak menentukan kalau anak ini harus duduk disini. ‎

‎Namun, sayang partai islam bak buih ombak, ramai pendukung, tapi mudah ditaklukkan. Jadilah, fungsi partai mengamankan tokoh-tokoh dan kesejahteraan pengikutnya. 

Ok, itulah semua pemikiran dan yang saya rasa. Apakah rasa yang saya rasakan sama dengan Anda rasakan. Kalau tidak, dan anggap saja hisapan rokok. ( @dedytribun / 26 januari 2014)‎ foto SP Photo/Jurnasyanto Sukarno

0 komentar:

Posting Komentar

Minggu, 26 Januari 2014

Serasa  Orde Reformasi "Feodalisme‎"



Judul tulisan ini mungkin ada dari Anda yang pernah membuatnya, kalau ada, saya jamin tidak copy paste. Namun, jika tidak ada, mungkin judul ini terpikirkan setelah melihat tokoh-tokoh politik nasional didominasi orang-orang tua  (kakek-nenek), yang menghias media di Indonesia.

Oke.. dari sisi pengalaman hidup dan pengabdian mereka jaya di zamannya. Namun, ini Era Reformasi Bung. Dimana, tahun 1997-1998 adalah mahasiswa usia 20 tahunan menggulingkan Orde Baru Soeharto (Anda pada tau lah ceritanya)..

Sukses terwujudnya Reformasi itu, mahasiswa kembali ke kampus dan berkutat dengan kuliah. Mereka seakan kembali ingat, kalau mereka dibiayai emak kuliah untuk jadi sarjana. 

Kekosongan sebentar inilah dimainkan pakar politik dan pengamat yang muncul dengan garang dan seolah-olah menjadi pahlawan, yang mewujudkan Reformasi. 

Saya masih ingat, komentar-komentar cerdas Andi Malarangeng atau Komentar Sri Mulyani yang hampir setiap hari menghias layar televisi. Pada awal reformasi. Mereka adalah kalangan akademisi‎ yang mulai memberi arahan seputar peran bagaimana cerita untuk memulai reformasi.

Tapi, daya saing para pengamat ini seakan terkalahkan dengan politik balas budi dan politik uang. Ya, wajar Partai Beringin yang memiliki jaringan dan mengakar di Indonesia, mulai menunjukan kekompakannya. Bentuk kekompakannya adalah ramai-ramai membuat partai pendamping.

Ketua Partai barunya, orang-orang partai beringin. Kalau tidak salah, 1999 itu ada lebih 30 partai, dan penyebaran pemimpinnya adalah orang-orang tua di Partai Beringin juga.

Pada awalnya, mahasiswa yang masuk kampus ini senang, golkar pecah. Namun, teriakan Golkar harus dihapuskan seperti Partai PKI, awalnya terdengar garang, kini menghilang. 

Saya masih ingat, Kantor Golkar di Kota tempat saya kuliah‎ di serang dan dilempar mahasiswa. Itu bentuk kesalnya pada peta perpolitikan di era Orde baru.

Ok, mari kita tinggalkan kondisi era Reformasi. Sekarang, tahun 2014. Tahun Kuda Politik menurut saya.

Setelah melalui banyak proses, Demokrasi makin terbuka, yang kaya dan pintar, serta mereka yang kritis masuk partai. Partai tingkat nasional ada 12 partai. Sisanya, partai lokal di Aceh.

Saya tidak melihat jumlah partainya, tapi yang saya lihat dan terpikirkan, kenapa semua Ketua Umum partai, kebanyakan wajah-wajah penguasa Orde Baru. Wajah-wajah yang dulunya mendapat fasilitas dan kemudahan di Orde Baru. Saya, binggung, kemana kawan-kawan mahasiswa yang mendobrak terlahirnya Reformasi. Kenapa tidak ada yang berkibar menjadi Ketua Partai.‎
 Ok, ada Ketum Partai PKB dan Partai PKS. Sisanya, saya lihat partai-partai yang dipimpin oleh yang udah kakek dan nenek. (maaf, fakta umur yang terlihat). Dua partai ini, lahir dan bertahan, dan sepertinya bebas dari unsur Orde Baru.‎

Ok, Partai seperti PDI Perjuangan, adalah partai yang lahir saat penindasan Orde Baru, dan di era reformasi‎ berkibar menjadi partai Oposisi. Memang pernah menjadi penguasa, tapi cuma 3 tahun, namun kembali terjungkal dengan kekuatan dan kepentingan asing.  Sayang, sosok Ibu kita ini dinilai terlalu lama memimpin partai. 21 tahun, seperti yang saya dengar di Mata Najwa.

Dengan umur yang sudah tua ini, sosok sang Ibu adalah pemersatu politikus yang kritis. ‎Semua menghargai keputusannya. Siapa saja politikus kritis ini, saya perhatikan mereka yang muda dan bergerak dalam demo menjatuhkan Soeharto.

Menjadi pertanyaan saya, jika takdir bicara dan sosok Naga Merah tidak ada (maaf), siapa yang akan mengantikannya. Jangan bilang aman di partai moncong putih ini. Ingat, politisi kritis berkumpul dan saya rasa tidak akan diam dan manut jika sang Ibu tidak kuat lagi.

Mungkin tidak saya saja yang tertarik ingin melihat cara yang diambil, ketika situasi itu terjadi. ( semoga saja Gerobak yang ditarik kerbau tidak retak apalagi hancur). Namun, saya menilai, dengan satu orang saja menjadi penguasa partai hingga 21 tahun, saya mencap, ini bukan lagi reformasi, tetapi Reformasi Feodalisme. 

Mungkin secara istilah, salah. Tapi, itulah kondisi yang saya tangkap dan simpulkan.‎ Kondisi Reformasi Feodalisme juga saya lihat pada partai-partai lainnya. 
Yang menarik saat ini, ada jargon Restorasi. Teriakan restorasi menggema oleh partai baru. Sayang, jargonnya tidak menggoda kalangan mahasiswa. Dan, kondisi terakhir, partai ini layu sebelum beraksi. Awalnya, politisi muda tertarik, tapi dengan diambil alihnya pimpinan partai oleh Mantan Ketua Pembina Partai Beringin, dan sosok pengebraknya jadi sekretaris, maka terlihat lagi Reformasi Feodalismenya.

Benar, Surya Paloh pencetus dan pemodal partai, tapi saya lihat dia ingin jadi Ketum, seakan partainya akan mengarah menjadi partai keluarga juga. Semoga analisa saya salah. 
Partai Burung digadang-gadang ketuanya akan diminati rakyat. Mantan Jendral Bintang 3 ini juga penikmat kekuasaan bersenjata pada Era Orde Baru. Maklum mantu presiden.  Kuatkah partai ini, dari pandangan saya, sang ketua saja yang menonjol. Kehadiran Partai ini membuat nyaman tokoh-tokoh Orde Baru yang selama Reformasi menghilang. Dan prediksi saya, akan kembali muncul, Jika sang Ketum Jadi Presiden.

Bagaimana dengan Partai lain. Ada Partai Hati Nurani. Sosok Wiranto yang juga dulu Jendralnya Partai Beringin, sejauh ini masih belum teruji kemampuannya.  
Memang, peran Wiranto saat aksi reformasi diam dan tidak menggerakkan anggotanya, namun penilaian asing dan media asing, menjatuhkannya. Dan kesalahan Wiranto adalah menggunakan Partai Beringin untuk maju Capres. Padahal, citra Partai waktu itu kurang dimata masyarakat.‎

Sekarang, Wiranto kembali maju dengan pasangannya, tapi prediksi saya akan layu sebelum berkembang. Ditambah kampanye pasangannya kurang merakyat, ditambah sosok sebagai militer tegas, kurang mampu memanfaatkan isu, tidak ada pernyataan heroik dari Wiranto menyikapi masalah keamanan nasional atau internasional. Entah, apakah ingin mencari aman saja, karena takut komentarnya bisa  diserang secara politik. 
 Tapi, lebih baik bersuara, dan menunjukan keberanian dengan kecerdasan.‎ Dan, dengan kondisi ini, partai hati nurani ini yang saya nilai tidak terasa angin Reformasinya. ‎

Bagaimana dengan partai berlambang Mercy. Saya tak ingin berpanjang menilainya saat ini. Karena, dari struktur Ketua Umum, lebih seksi dari pada jabatan Presiden. Awalnya, Partai ini diisi kalangan reformis dan idealis, tapi karena bercampur tokoh-tokoh mantan punggawa Partai Beringin, semua menjadi kacau. Reformasipun terlaksana, tapi dalam jaringan keluarga. 

Bagaimana dengan partai-partai islam, sepertinya secara garis, kayaknya lebih melaksanakan reformasi. Ketua adalah kader-kader yang terstruktur dan berjenjang. Dinamika untuk jadi pemimpin berjalan dan tidak menentukan kalau anak ini harus duduk disini. ‎

‎Namun, sayang partai islam bak buih ombak, ramai pendukung, tapi mudah ditaklukkan. Jadilah, fungsi partai mengamankan tokoh-tokoh dan kesejahteraan pengikutnya. 

Ok, itulah semua pemikiran dan yang saya rasa. Apakah rasa yang saya rasakan sama dengan Anda rasakan. Kalau tidak, dan anggap saja hisapan rokok. ( @dedytribun / 26 januari 2014)‎ foto SP Photo/Jurnasyanto Sukarno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About

Copyright © Modus News Design by BTDesigner | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger